2019, di gadang-gadang menjadi tahun yang cukup menakjubkan, penuh antusias, menggairahkan, kompetitif, serta menjadi tahun yang sangat di nanti-nanti karena tahun 2019 merupakan puncak dari ajang paling bergengsi se-antero Nusantara. Adalah, tahun Politik.
Momok Lain Di Balik Tahun Politik
Pada kesempatan ini, penulis mencoba menjabarkan satu realitas sosial (Momok) dibalik singar bingarnya konstalasi politik tanah air.
Realitas yang penulis maksudkan disini adalah maraknya kasus prostitusi atau pelacuran. Kasus pelacuran seakan menjadi sangat menarik untuk di pertontonkan sementara ini.
Belum lama setelah khayalak Negeri di gegerkan dengan beredarnya kasus artis papan (VA) yang menggadaikan barang paling berharga miliknya dengan banrol Rp.80 Jt, pihak penegak hukum kembali menyeret salah seorang Dosen tengah melakukan hubungan intim (pelacuran) dengan Mahasiswi dari salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Kota Kupang-NTT.
Menurut pemberitaan yang di rilis Pos Kupang, pada Kamis, 01 Januari 2019 sekitar Pukul 09:49 Wita, pihak kepolisian setempat (Polres Kupang), melakukan penggerebekan terhadap keduanya setelah sebelumnya kepolisian menerima laporan dari sang isteri pada (Rabu, 8/1/2019) malam.
Na'as, seorang Dosen yang bergelar doktor tersebur, terciduk, tengah melakukan hubungan intim/pelacuran dengan Mahasiswi berusia 18 tahun di kamar kos milik wanitia blia tersebut tepatnya di Jl. Soverdi Kelurahan Oebufu, Kecamatan Kota Kupang.
Historis
Sementara, pelacuran sudah ada sejak zaman para Nabi.
Prostitusi atau pelacuran di Indonesia bermula sejak zaman kerajaan-kerajaan jawa yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem feodal.
Pelacur di sebut-sebut sedia merelakan tubuhnya untuk dijamah dan dijajah, asal mendapat imbalan tertentu. Kerja ringan tapi bayarannya tinggi. Bekerja hanya 10 menit dan mendapat imbalan lebih dari orang yang bekerja satu hari penuh. Itulah mengapa mereka menggeluti dunia hitam seperti ini.
Iwan Bloch menjabarkan, pelacuran adalah suatu bentuk tertentu dari hubungan kelamin diluar pernikahan, dengan pola tertentu yaitu kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran, baik untuk persetubuhan, maupun kegiatan seksual lainnya yang memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
Selanjutnya, Soerjono Soekanto (1982: 328), membeberkan, pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.
Menurutnya, pelacuran disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor Endogen dan Eksogen.
Faktor endogen meliputi, nafsu kelamin yang besar, sifat malas, dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Sedangkan, faktor eksogen meliputi, faktor ekonomis, urbanisasi yang tak teratur, keadaan perumahan yang tidak memenuhi syarat dan seterusnya.
Fenomena yang terjadi bukan lagi menjadi rahasia, karena apabila ditelusuri lebih mendalam, sungguh kelam dan suramnya kemahasiswaan anak muda semacam ini. Pagi Ia belajar, malam berkeluyuran dengan pria hidung belang.
Oleh: Ronaldus Jarut
Mahasiswa Hukum
Pada pristiwa pelacuran itu, ada dorongan-dorongan seks yang terintegrasi dengan kepribadian. Artinya, implus-implus seks itu tidak terkendali oleh hati nurani.
Selanjutnya, dipakailah teknik-teknik seksual yang amat kasar dan provokatif dalam sanggama, dan sangat impersonal karena berlangsung efeksi
tanpa perasaan, emosi dan kasih sayang, sehingga dilakukan dengan cepat, dan tanpa orgasme pada pihak wanita atau pelacurnya.
Comments
Post a Comment