Aku tidak membicarakan perempuan di luar sana. Tapi, aku adalah perempuan dan aku merokok. Selama ini memang, rokok selalu disimbolkan dengan hal-hal yang bertendensi negatif bagi perempuan. Aku tidak tahu, cobalah kita sebut, pelacur, perempuan bar, atau yang lebih sederhana perempuan-perempuan yang hobi nongkrong dan pulang malam. Aku sedang berandai-andai, rokok ada di tengah dua jari perempuan-perempuan yang berambut panjang, berjepit tengah dengan rok bunga-bunga sambil memasak di dapur. Ah, itu keren sekali. Mereka yang kemudian citranya rusak gara-gara sebatang rokok," sambungnya.
ㅤ
Mungkin banyak perempuan seperti dia dengan jalan pikirnya, di luar sana. Tapi, dengan telinga dan mataku sendiri, aku sedikit tersanjung ada perempuan yang mencoba untuk tidak munafik. Bibirnya benar-benar seperti apel manalagi, menggantung saat berbicara sepanjang itu. Wajah kusamnya benar-benar serasi dengan asap-asap rokok dari mulutnya.
ㅤ
Kebetulan juga, aku adalah seorang penjahit. Aku mengerjakan beberapa desain kaos yang aku jahit sendiri. Dengan modal kamera EOS sederhana dan media sosial, lumayanlah duitnya. Pesan saja sepuluh cangkir Kopi Perempuan, aku sanggup traktir. Dan, aku memutuskan untuk merokok karena aku menemukan kenyamanan di sana, dengan kenyamanan itu aku melahirkan banyak ide. Toh, kota ini sangat dingin, bahkan jika ada satu atau sepuluh teman ngopi di satu meja, akan tetap terasa dingin. Aku tidak bisa bayangkan, aku bertemu seseorang yang hangat dalam kota yang seperti ini. Dari semua itu, aku memilih dengan merokok, sedikit menghangatkan tubuh juga akal. Ya, walaupun sampai hari ini, perempuan merokok sah-sah saja, hanya berkesan wrong—tidak pas. Urusanku di dunia ini bukan mencari kebenaran dan kesalahan, jika yang aku ambil salah setidaknya aku akan membuat itu menjadi baik meski untuk diriku sendiri. Yaaah seperti itulah, tenang saja, aku sudah meminta izin kepada Tuhan untuk merokok," jelasnya dengan santai, kakinya dilipat, sikunya bertumpu di atas paha dan menempel kuat di dagu."Substansial sekali," jawabku ringan, dengan menyisir jenggotku sendiri yang hanya beberapa helai.
ㅤ
Mungkin banyak perempuan seperti dia dengan jalan pikirnya, di luar sana. Tapi, dengan telinga dan mataku sendiri, aku sedikit tersanjung ada perempuan yang mencoba untuk tidak munafik. Bibirnya benar-benar seperti apel manalagi, menggantung saat berbicara sepanjang itu. Wajah kusamnya benar-benar serasi dengan asap-asap rokok dari mulutnya.
ㅤ
Kebetulan juga, aku adalah seorang penjahit. Aku mengerjakan beberapa desain kaos yang aku jahit sendiri. Dengan modal kamera EOS sederhana dan media sosial, lumayanlah duitnya. Pesan saja sepuluh cangkir Kopi Perempuan, aku sanggup traktir. Dan, aku memutuskan untuk merokok karena aku menemukan kenyamanan di sana, dengan kenyamanan itu aku melahirkan banyak ide. Toh, kota ini sangat dingin, bahkan jika ada satu atau sepuluh teman ngopi di satu meja, akan tetap terasa dingin. Aku tidak bisa bayangkan, aku bertemu seseorang yang hangat dalam kota yang seperti ini. Dari semua itu, aku memilih dengan merokok, sedikit menghangatkan tubuh juga akal. Ya, walaupun sampai hari ini, perempuan merokok sah-sah saja, hanya berkesan wrong—tidak pas. Urusanku di dunia ini bukan mencari kebenaran dan kesalahan, jika yang aku ambil salah setidaknya aku akan membuat itu menjadi baik meski untuk diriku sendiri. Yaaah seperti itulah, tenang saja, aku sudah meminta izin kepada Tuhan untuk merokok," jelasnya dengan santai, kakinya dilipat, sikunya bertumpu di atas paha dan menempel kuat di dagu."Substansial sekali," jawabku ringan, dengan menyisir jenggotku sendiri yang hanya beberapa helai.
Comments
Post a Comment