Aku terdiam dua detik, sebelum lanjut berkata sambil mengambil rokok yang mati di selipan asbak dan meminta api pada ujung rokok kawan sebelah. "Tapi pujangga tak selayaknya ikut politik apalagi jadi tim sukses. Pujangga bertugas menyeimbangkan kehidupan, terdiri atas kebaikan dan kejahatan." Kalimatku mengawang demi dapat pencerahan. Demi solusi? Entah. "Ya, posisi pujangga harus di tengah, tersenyum melihat kedamaian, menangis dan sakit melihat penderitaan. Ekspresi wajah pujangga sebaiknya tidak ditunjukkan kepada siapa pun. Tak ada yang tahu keberadaannya. Kecuali dalam keadaan terdesak." ㅤㅤ Seharusnya tak ada makian kotor keluar dari mulutnya saat melihat jalanan penuh kotoran. Pujangga berhati halus meski dadanya bergejolak hebat merasakan kota yang sedang kalut. Kota ini memang akan kehilangan pujangga besar. Satu-satunya pujangga milik kota ini akan hilang. Karena lebih memilih karier di bidang lain, bidang yang menjanjikan masa tua. Namun, sekarang siapa...
merupakan coretan tinta dari seorang perajut mimpi dari puing yang tercecer